When the Rain Falls

[Ketika Hujan Turun] 


Kamu tahu… ini pertama kalinya aku 
bicara seperti ini pada siapa pun.

Biasanya aku hanya bilang, “Aku baik-baik saja,”

padahal itu hanyalah kebohongan 
yang sudah terlalu sering kupakai,

sampai rasanya seperti kulit kedua 
yang menempel di tubuhku.

Sebenarnya… aku lelah.

Bukan lelah karena berjalan terlalu jauh,
tapi lelah karena terlalu lama terus berada 
di tempat yang sama.  

Dan sejujurnya, aku tidak pernah 
benar-benar mencintai apa pun.

Hingga tidak ada pula yang 
sungguh-sungguh mencintaiku.

Bahkan orang yang seharusnya menjadi rumah…
justru menjadi alasan kenapa aku ingin pergi.

Sering ku bertanya pada diri sendiri,
”Bagaimana ya rasanya kalau aku 
tidak pernah ada?”

Bukan karena mati, bukan pula hilang.
Hanya... seakan aku tidak pernah diciptakan.

Tidak perlu belajar tersenyum,
tidak perlu berpura-pura kuat,

tidak perlu merasa seperti beban 
setiap kali menghirup udara.

Kamu ingin tahu bagaimana rasanya?

Seperti menatap langit malam tanpa bintang,
dan hanya ada kekosongan yang menyelimuti. 

Senyap yang begitu berat,
sampai-sampai napas pun terasa asing.

Namun, ada hal aneh yang selalu 
membuatku bertahan sedikit lebih lama.

Terkadang, ketika hujan turun, 
aku duduk diam sendirian didepan tirai dan
mendengar suara hujan mengetuk jendela.

Terkadang, ketika hujan turun, 
aku sering duduk diam dibalik tirai,

dan mendengarkan suara 
rintiknya mengetuk jendela.

Aku tidak tahu mengapa, tapi rasanya hujan
seakan tidak pernah menghakimiku.

Entah kenapa, suaranya itu membuat 
dadaku terasa sedikit berbeda.

Bukan hangat, dan tidak pula nyaman.
tapi setidaknya, mungkin tidak sesakit biasanya

Hujan datang dan membasuh segalanya, 
lalu pergi tanpa pamit begitu saja.

Dan entah kenapa, mungkin aku 
ingin menjadi seperti itu juga.

Mungkin karena aku merasa 
jika hujan mirip denganku.

Terkadang ia turun deras, seperti 
menumpahkan semua yang dipendam.

Terkadang ia juga hanya gerimis pelan, 
nyaris tak terdengar dan tak terlihat.

Tapi bagaimanapun, ia tetap ada,
dan masih terus menetes.

Lalu ketika ia berhenti,
tak seorang pun bertanya ke mana perginya.

Mungkin aku juga ingin dilihat seperti itu.
Ada atau tidak, tak perlu ditanya.

Sesekali tidak hanya hujan yang datang.

Ada juga seekor kucing liar yang 
sering lewat didepan rumahku.

Ia hanya sekedar lewat,
tanpa memperhatikan hal disekitarnya.

Mungkin karena dia tidak tahu aku ada.

dia tidak pernah mendekat, 
dan tidak pernah meminta makan.

Ia hanya melintas begitu saja dihalaman,
lalu membawa seekor ikan dimulutnya.

Itu konyol, tapi aku selalu memperhatikannya.

Seakan itu adalah hal pertama didunia ini
yang tidak menuntut apa pun dariku.

Tapi itu cukup berarti bagiku,
dan jujur… itu melegakan.

Hal-hal kecil seperti itu,
rintik hujan, langkah kucing,
atau aroma tanah setelah badai.

Mereka tidak peduli siapa aku, 
mereka bahkan tidak tahu aku ada.

Dan justru itulah yang 
membuatku betah memandanginya.

Aku tidak akan berbohong,
aku masih ingin semuanya berakhir.

Namun setiap kali hujan datang,
aku selalu berkata pada diriku sendiri :

“Mungkin tunggu sebentar…
biarkan aku menunggu sampai hujan berhenti.”

Dan entah bagaimana, hujan selalu 
turun lagi dihari-hari berikutnya.

Mungkin aku tidak sedang bertahan hidup.
Mungkin, aku hanya sedang menunggu hujan.

Lalu kemudian, hujan selalu datang kembali.

Sebab itulah satu-satunya 
alasan kenapa aku masih di sini.

Jadi… jika suatu hari aku menghilang,

mungkin itu bukan karena aku telah pergi,
melainkan karena hujanku sudah
benar-benar berhenti. 


═══✦══╡END╞═══✦══ 

> Finished by : Ceritaku (Sabi)
> Instagram : @aiisalsabi.lh 

Original writer : Sere

[Nb : Penulisan ini hanya fiksi semata,
harap baca dengan memahami kebijakan]


Jangan lupa kunjungi profilku~
Terima kasih! (>_<)/~~

Komentar

Terpopuler dari Sabi :

I'm Falling in Love

The Boy is Mine

A Dreamer's Sincerity

Forever Young

Only You